Praktik Fotografer Memotret Tanpa Izin: Eksploitasi di Balik Estetika.
SERANG, -- BERITAHARIAN86.COM || Maraknya praktik fotografer khususnya yang terkait dengan platform berbasis AI seperti Fotoyu, genre Fotografi jalanan fotoyu belakangan ini lagi tranding karena banyak influencer serta konten kreator yang mengunggah aktifitas olahraga khususnya joging, trand ini yang membuka celah, sehingga peraktik memotret wajah orang di ruang publik tanpa izin menjadi masif,
Fakta bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital (KOMDIGI) menegaskan bahwa wajah adalah data pribadi biometrik yang dilindungi UU PDP adalah alarm yang berbunyi nyaring.
Kepala BPSDM Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, saat diskusi bersama wartawan di kantor Komdigi jakarta, jumat 31 October 2025 sebut "data pribadi bukan hanya teks, tapi juga wajah dan biometrik"
Ia menegaskan, "memotret orang tanpa persetujuan untuk komersil melawan etika dan budaya bangsa Indonesia"
Bonifasius Wahyu Pudjianto akui, "peraturan pemotretan foto dan data pribadi berbasis AI masih perlu pembaruan dan kejelasan hukum"
Itulah polemik yang lagi hangat tentang ruang privasi publik dengan orang mencari nafkah (Fotoyu), mari kita melihat ke sejarah fotografer jalanan (Street fotografi)
Street fotografi berawal dari Eropa pada akhir abad ke-19 (sekitar 1890-an hingga 1920-an) dengan karya *Eugene Atget* yang mendokumentasikan jalan Paris. Merupakan pelopor awal ganre ini. Meskipun lebih berfokus pada arsitektur daripada manusia.
Mari kita banding Status hukum street fotografi di luar negeri sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain seperti salah satunya Negara Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat fotografi diruang publik Diperbolehkan: Di AS, Amandemen Pertama (First Amendment) melindungi hak untuk memotret apa pun yang terlihat di ruang publik (jalan, taman, fasilitas transportasi) karena tidak ada harapan privasi yang wajar di area tersebut. Meskipun pengambilan foto untuk tujuan editorial atau pribadi diizinkan, penggunaan foto orang yang dapat diidentifikasi untuk tujuan komersial (iklan, pemasaran) biasanya memerlukan izin subjek foto (model release). Pemilik properti pribadi (mal, museum, dll.) dapat melarang fotografi di properti mereka.
Jepret Tanpa Izin di Ruang Publik Privasi atau Ancaman bagi Kreativitas?
Wacana dan potensi kebijakan pemerintah yang melarang fotografer, terutama fotografer jalanan ( street photographer), memotret subjek manusia tanpa izin eksplisit di ruang publik telah memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, kebijakan ini didasari oleh niat baik untuk melindungi hak privasi individu sesuai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Namun, di sisi lain, kebijakan ini berisiko mengekang kebebasan berekspresi dan mematikan denyut nadi ekonomi kreatif di Indonesia.
Perlu ada sosialisasi masif mengenai perbedaan antara memotret untuk kepentingan pribadi/seni dan memotret untuk kepentingan komersial. Fotografer harus dibekali pemahaman mendalam tentang etika, seperti kepekaan membaca sinyal dari orang yang tidak ingin difoto, dan kewajiban mendapatkan izin jika foto tersebut akan digunakan untuk tujuan komersial.
Pemerintah perlu segera merealisasikan badan otoritas independen yang mengawasi implementasi UU PDP secara adil. Dengan demikian, keseimbangan antara hak privasi warga dan kebebasan berekspresi para fotografer dapat terjaga harmonis di ruang publik Indonesia.
(*/Ending)
Penulis : Masruri Mahasiswa Ilmu Hukum S1 Universitas Pamulang Serang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar